Views: 792
Dugaan Korupsi Beras ASN Bintuni: Dua Tersangka dari PT Pos Indonesia dan Transportir Lokal, Uang Mengalir ke Rekening Pribadi
BINTUNI- Papua Barat — Kasus yang awalnya tampak sebagai urusan logistik biasa kini berubah menjadi skandal besar. Penyidik Satreskrim Polres Teluk Bintuni resmi menetapkan dua tersangka dari perusahaan pelat merah PT Pos Indonesia dan seorang transportir lokal dalam kasus dugaan korupsi pengadaan dan distribusi beras Aparatur Sipil Negara (ASN) tahun anggaran 2023.
Kapolres Teluk Bintuni AKBP Hari Sutanto, S.I.K. melalui Kasat Reskrim AKP Boby Rahman membenarkan penetapan dua tersangka tersebut. “Kasus ini tidak lagi sebatas kelalaian administratif. Kami menemukan bukti kuat adanya dokumen fiktif, penjualan beras ASN ke pihak lain, hingga aliran dana miliaran rupiah ke rekening pribadi,” ujarnya, Selasa (7/10/2025).
Proyek Bernilai Rp14,48 Miliar, Tapi ASN Tak Pernah Terima Beras
Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni menggelontorkan Rp14,48 miliar untuk membeli 1.096 ton beras bagi ASN selama 12 bulan pada tahun 2023. Pengadaan dilakukan melalui Perum Bulog Cabang Manokwari dengan harga per kilogram berkisar antara Rp11.002 – Rp11.498.
Bulog menyatakan seluruh beras sudah dikirim hingga ke gudang Manokwari. Dari titik itu, tanggung jawab distribusi diserahkan kepada PT Pos Indonesia melalui skema Ongkos Angkut Beras (OAB) yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan.
Namun, bukannya langsung mendistribusikan ke Teluk Bintuni, PT Pos Indonesia justru melakukan subkontrak berlapis ke tiga perusahaan lain, hingga akhirnya pekerjaan jatuh ke tangan seorang transportir lokal berinisial HR.
Subkontrak Berlapis, Dokumen Fiktif, dan Penjualan Beras ASN
Hingga Juli 2023, HR mengaku telah mengirim lebih dari 600 ton beras ke sejumlah dinas dan distrik. Namun sejak Agustus, distribusi diambil alih langsung oleh Kantor Pos Manokwari di bawah kendali RM, pimpinan cabang PT Pos Indonesia.
Dari sinilah penyimpangan terjadi. Sejumlah berita acara penyaluran (BAP) ternyata sudah ditandatangani pejabat OPD sebelum beras benar-benar diterima.
Alasannya: agar pencairan pembayaran dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Papua Barat tidak terlambat melewati batas waktu 15 Desember 2023.
Lebih parah lagi, HR diketahui menjual sebagian beras milik ASN ke pihak lain. Lembaga auditor negara menemukan adanya manipulasi dokumen, pengalihan tanggung jawab, serta praktik jual beli beras ASN oleh transporter.
Jejak Transfer Mencurigakan: Rp1,35 Miliar Mengalir ke Rekening Pribadi
Penyidik juga membongkar aliran dana yang tak kalah mencurigakan. Dana sebesar Rp1,35 miliar dari PT Alton Yogantara Perkasa (AYP) ditransfer ke rekening RG, seorang warga sipil yang mengaku hanya “meminjamkan rekening” kepada RM.
Uang tersebut kemudian dialirkan ke berbagai rekening pribadi, termasuk milik RM sendiri. Dana ini diduga dipakai untuk membayar utang dan kebutuhan pribadi.
Kerugian Negara Rp2,77 Miliar, PT Pos Didenda Rp5,21 Miliar
Audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Papua Barat menyimpulkan bahwa kerugian negara akibat praktik korupsi ini mencapai Rp2,77 miliar.
Selain itu, Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan menemukan pelanggaran administratif karena tarif ongkos angkut diubah sepihak dari Rp3.100/kg menjadi Rp1.433/kg tanpa pelaporan resmi.
Atas pelanggaran ini, PT Pos Indonesia dijatuhi sanksi berupa denda Rp5,21 miliar sesuai Nota Dinas No. ND-1450/PB.1/2024. Meski begitu, proses pidana tetap berjalan karena telah terjadi perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.
Dua Tersangka Sudah Ditahan, Polisi: “Penyidikan Belum Selesai”
Dua tersangka yang kini ditahan adalah:
- RM – Pimpinan PT Pos Indonesia Cabang Manokwari, ditangkap di Manado.
- HR – Transportir lokal, ditangkap di Manokwari.
Keduanya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana hingga 20 tahun penjara.
“Kami tidak berhenti pada dua nama ini saja. Penyidik masih mendalami peran pihak perusahaan, subkontraktor, hingga penerima aliran dana,” tegas AKP Boby Rahman.
Kasus ini menjadi peringatan keras bahwa program pemerintah yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat tetap rawan diselewengkan. Transparansi dan pengawasan berlapis mutlak diperlukan agar hak ASN tidak kembali dirampas oleh tangan-tangan korup.
Laporan Tim Redaksi KADATE / Inspirasi Papua