Views: 76
Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Rokok Ancaman Besar Bagi Kesehatan Dan Lingkungan
BINTUNI, InspirasiPapua.id- World Health Organization (WHO) sebagai organisasi kesehatan sedunia memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) setiap tahun pada tanggal 31 Mei. Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun 2023 ini mengambil tema “Kita butuh makan bukan tembakau”.
Hal ini jelas menunjukan WHO mengkampanyekan krisis pangan yang telah terjadi saat ini di secara global dan mengancam keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi saat konsumsi tembakau yang terus meningkat diseluruh dunia.
“Pada tahun 1987 negara-negara anggota WHO menetapkan Hari Tanpa Tembakau Sedunia untuk mendorong semua masyarakat diseluruh dunia untuk berhenti merokok atau mengunyah tembakau selama 24 jam yang dilakukan pada setiap tanggal 31 Mei.
Tembakau atau nicotiana tabacum merupakan tanaman yang menjadi bahan baku utama dalam produksi rokok. Cukai rokok menjadi penyumbang terbesar pemerimaan cukai negara kita hingga tahun ini dan ekspor rokok sudah menjadi salah satu penyumbang devisa buat negara saat ini,” ungkap dr. Haposan Simatupang ketika dirinya menyampaikan materi Rokok Ancaman Besar Bagi Kesehatan dan Lingkungan kepada media ini, Selasa (06/06/2023) di Bintuni.
Menurut WHO, kata dr. Haposan Simatupang, Indonesia menjadi negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia, padahal setiap tahunnya sekitar 250 ribu orang di Indonesia meninggal akibat merokok atau penyakit lainnya yang berkaitan dengan tembakau.
“Kematian akibat rokok juga meningkat menjadi 6 dari 10 kematian tertinggi dipengaruhi oleh rokok. Beberapa survey terakhir menunjukan penggunaan tembakau di Indonesia sangat tinggi terutama di kalangan usia remaja bahkan sudah dimulai pada anak usia dini.
Berdasarkan hasil survei lapangan oleh Global Adults Tobacco Survey (GATS) tahun 2021 menujukan hasil yang cukup memprihatinkan. Jumlah perokok anak terus meningkat, 3 dari 4 orang mulai merokok pada usia kurang dari 20 tahun.
The Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 memaparkan hasil survei yang memprihatinkan bahwa 40,6% pelajar di Indonesia sudah pernah menggunakan produk tembakau. Angka itu diprediksi akan terus meningkat, tentu saja hal tersebut menunjukan generasi muda di Indonesia terus terpajan oleh tembakau dan berisiko untuk berkembang menjadi adiksi (kecanduan).
Pengunaan tembakau pada anak usia dini akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan anak atau stunting dan meningkatkan risiko penyakit kronik seperti penyakit jantung, diabetes, gangguan saluran napas hingga kanker dikemudian hari,” papar dr. Haposan Simatupang.
Haposan Simatupang juga menjelaskan, Generasi muda adalah penentu sekaligus pewaris bangsa di masa depan. Jika generasi muda sudah terpajan oleh tembakau sejak usia dini maka masyarakat yang sehat dan makmur akan menjadi tujuan bangsa yang sulit untuk dicapai.
“Pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah bersama seluruh komponen masyarakat harus menyadari bahwa memiliki tugas yang penting yaitu melindungi generasi muda sebagai penerus bangsa dari ancaman bahaya tembakau . Berbicara soal regulasi dan peraturan, Indonesia masih lemah dalam implementasi aturan tentang penggunaan tembakau. Biaya kesehatan yang ditanggung oleh BPJS untuk membayar biaya perawatan akibat penyakit yang berkaitan dengan rokok mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27 triliun pada tahun 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan 20 hingga 30 persen dari penerima bantuan Jaminan kesehatan Nasional (JKN) untuk membayar biaya perawatan akibat penyakit yang berkaitan dengan rokok.
Akibat tanggungan yang besar ini beberapa ahli bahkan masyarakat berpendapat bahwa BPJS tidak berlaku untuk orang-orang yang mengkonsumsi rokok secara aktif.
Namun, hal ini jelas sulit dilakukan karena akan dianggap melanggar UUD 1945 tentang hak untuk hidup sehat dan hak mendapatkan pelayanan kesehatan. Pemerintah telah menaikan bea cukai rokok sebagai salah satu usaha preventif,” papar. dr. Haposan Simatupang.
Sementara itu dr. Elizabeth Magdalena Purba menambahkan bahwa bukan hanya berkaitan dengan kesehatan, namun WHO juga berbicara soal industri tembakau yang menjadi ancaman besar bagi lingkungan hidup dan tentu saja akan berdampak bagi peningkatan kerawanan pangan.
Data WHO menunjukan sekitar 3,5 juta hektar lahan yang dikonversi untuk menanam tembakau setiap tahunnya.
Jika ini terus terjadi maka tanah untuk lahan pertanian yang digunakan untuk menyediakan sumber makanan pokok akan semakin berkurang.
Tanaman tembakau membutuhkan pestisida dan pupuk dalam jumlah yang sangat besar yang akan mengakibatkan lahan menjadi tidak subur. Tanah yang sudah pernah ditanami oleh tembakau artinya hampir tidak bisa lagi ditumbuhi oleh tanaman lainnya.
Pada akhirnya tanaman ini bukan hanya akan membahayakan kesehatan kita namun juga akan berdampak bagi kesehatan para petani dan keberlangsungan lingkungan di muka bumi pada masa depan,” terang dr. Elizabeth Purba.
Elizabeth Magdalena Purba juga memaparkan, bahwa Kampanye HTTS tahun ini mendorong pemerintah untuk mengakhiri subsidi pada penanaman tembakau dan mendukung para petani untuk beralih menanam tumbuhan makanan pokok yang bisa memperkuat ketahanan pangan, serta mengupayakan memerangi degradasi lingkungan dengan mengurangi pertanian tembakau.
“Pentingnya membangun pemahaman masyarakat tentang besarnya peluang untuk menganti tanaman tembakau menjadi lahan pertanian yang dapat ditanami dengan sumber makanan pokok dan tanaman yang bernilai gizi,” sebut dr. Elizabeth. (ahd-IP)