BINTUNI, InspirasiPapua.id– Keluarga Besar Werfete distrik Kuri Bintuni meminta kepada Dinas Kehuatanan dan Perusahaan Kayu Log PT. Wijaya Sentosa (PT WS) agar memfasilitasi mereka pertemuan untuk membicarakan kerusakan hutan dan situs Sejarah dari Suku Kuri yang telah rusak akibat aktifitas perusahaan PT Wijaya Sentosa yang bergerak di bidang penebangan kayu log di Kampung Obo distrik Kuri.
Roy Masyewi selaku Pemuda Tujuh berdarah Kuri yang dipercayakan untuk sampaikan aspirasi Marga Werfete Suku Kuri kepada Perusahaan PT WS dan Dinas Kehutanan PB. Dirinya ketika berada dilokasi operasi PT.WS. IP-IST
“Saya meneruskan aspirasi dari keluarga masyarakat adat marga Werfete suku Kuri bahwa mereka meminta tempat pertemuan tersebut tidak dilakukan di lokasi perusahaan PT Wijaya Sentosa.
Tetapi mereka minta tempat pertemuan digelar di wilayah netral seperti di Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat di Manokwari agar proses pertemuan dapat berjalan dengan baik,” ungkap Roy Masyewi selaku Pemuda Tujuh Suku berdarah Suku Wamesa dan Kuri kepada media ini ketika menyampaikan press realise dari Marga Werfete belum lama ini di Bintuni.
Pemuda yang akrab dipanggil dengan sebutan “Anak Cawat” itu juga mengatakan bahwa terkait waktu pertemuan masyarakat Adat Kuri Marga Werfete mengusulkan agar digelar pada pekan ini.
“Karena masyarakat menyampaikan bahwa palang tidak bisa dibuka jika tidak ada pertemuan. Maka Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat dan PT WS diharapkan mengeluarkan undangan resmi dan tertulis kepada masyarakat adat Kuri marga Werfete di kampung.
Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat dan PT WS juga diharapkan dapat mendukung pembiayaan transportasi masyarat untuk sampai di Manokwari dalam rangka pertemuan tersebut.
Dan biaya tersebut harus diberikan kepada masyarakat adat Marga Werfete dan biarkan masyarakat yang mengatur dana yang diberikan itu untuk membayarkan sendiri kebutuhannya seperti pembayaran transportasi dan penginapan saat di Manokwari.
Dengan tujuan untuk menjaga netralitas karena kerap terjadi ketika pertemuan, masyarakat selalu kalah karena perusahaan yang memfasilitasi secara langsung kebutuhan masyarakat bukan masyarakat yang dipercayakan,” terang Masyewi.
Nampak hutan Kuri diduga telah dirusak PT WS. IP-IST
Tokoh Pemuda berdarah Kuri Roy Masyewi yang lahir dari rahim seorang Ibu bermarga Trorba salah satu marga dari Suku Kuri juga menceriterakan bahwa dirinya sangat bersedih dengan peristiwa yang terjadi.
“Dimana hutan dan situs Sejarah dari Suku Kuri telah di rusak oleh perusahaan yang bergerak di bidang penebangan kayu yaitu PT Wijaya Sentosa yang beroperasi di Kampung Obo.
Saya adalah anak Tujuh Suku daerah kami Kuri itu bukan baru tetapi tempat itu merupakan tempat Sakral oleh Leluhur kami. Bahkan menurut kepercayaan orang Tua dari Suku Kuri tempat itu adalah tempat Sentral di Tanah Papua dan terkenal dengan adanya Gunung Nabi yang berada di sekitar Kuri, Irarutu.
Dimana Gunung Nabi itu berada diantara Kuri Teluk Bintuni, Kaimana, Teluk Wondama sama Fakfak dan Gunug Nabi ini letaknya berada di pertengahan.
Dimana areal operasi perusahaan tersebut sudah mendekati Gunung Nabi. Dan tahapan yang akan masuk ke daerah Sakral itu awalnya dari pinggiran kali Telaga Awan.
Jadi sebagai anak asli di disana, ini bukan hanya masalah kerusakan hutan saja tapi tempat itu Sakral dan merupakan jati diri kami. Terkait hal itu saya sangat merasa sedih atas perbuatan mereka,” ungkap Masyewi.
Masyewi juga mengatakan bahwa situs sejarah orang Kuri mulai ini hancur, Masyarakat Adat Werfete tuntut Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat dan PT Wijaya Sentosa yang harus bertanggung jawab.
“Situs sejarah orang Kuri yang dinamakan Kabung Fefrase atau Telaga Awan telah hancur akibat adanya aktifitas penebangan kayu oleh perusahaan PT Wijaya Sentosa,” sebut Masyewi.
Sementara itu hal yang sama juga dikatakan Yordan Werfete selaku tokoh marga Werfete yang hadir membantu keluarga masyarakat adat Marga Werfete di Bintuni, bahwa kayu bulat dengan ukuran bervariasi telah ditebang dari tempat keramat ini sejak tanggal 14 Mei 2022.
“Sedangkan Kabung Fefrase merupakan telaga yang diyakini oleh orang Kuri sebagai tempat bersejarah dimana terdapat satu rumpun sagu di tengah telaga.
Sagu itu tidak tinggi, tidak besar, hanya begitu saja, hanya satu pohon saja,” tuturnya.
Kemudian Sander Werfete pemuda adat Kuri sekaligus anak sulung dari Bapak Yakob Werfete (petuanan marga Werfete) menyampaikan bahwa kabung Fefrase sejak dulu diyakini moyang orang Kuri sebagai telaga yang berpindah-pindah.
“Sehingga susah mencari telaga tersebut, oleh karena itu kami meyakini bahwa tempat tersebut merupakan tempat sakral masyarakat.
Kemudian pada tanggal 16 Mei 2022, komunitas masyarakat adat dari Marga Werfete beserta perwakilan keluarga dari marga lain yang berada di wilayah adat Kuri melakukan pemalangan di wilayah tempat sejarah Kabung Fefrase.
Beberapa saat sebelum pemalangan terjadi, masyarakat adat menemukan karyawan PT Wijaya Sentosa sedang melakukan aktifitas penebangan pada wilayah yang dianggap sakral tersebut,” ungkap Sander.
Pada saat pemalangan berlangsung, Sander Werfete menyampaikan alasan pemalangan adalah komitmen PT Wijaya Sentosa yang mereka tulis yaitu komitmen perlindungan terhadap kawasan yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi atau NKT.
“Ternyata tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan makanya kami sebagai petuanan bertindak sesuai aturan adat yang berlaku.
Semua imbas ini tetap akan tertuju kepada kepada Dinas Kehutanan dan perusahaan PT. WS tersebut karena kami duga bahwa kontrak kerja antara Dinas Kehutanan Papua Barat dan perusahaan PT. WS tersebut telah menipu kami masyarakat Kuri.
Maka itu kami memalang hak-hak marga Werfefe yang perusahaan PT WS dan Dinas Kehutanan ‘gelapkan”. Dimana secara aturan maka hak-hak masyarakat harus diselesaikan oleh perusahaan dan Dinas Kehutanan Papua Barat,” kata Sander.
Selanjkutnya Niklas Werfete selaku pemuda adat Kuri juga memberikan keterangan bahwa awal Tahun 2022, dirinya ikut bersama perusahaan PT WS untuk melakukan pengecekan tata batas wilayah sakral di Kabung Fefrase.
“Dan kami sudah menandai batas tersebut tidak boleh diaganggu. Tetapi saat ini perusahaan PT Wijaya Sentosa telah melanggar batas tersebut dengan menebang dan membuat jalan logging di dalam wilayah yang kami anggap keramat itu,” tutur Niklas.
Lalu perempuan adat Kuri, Magdalena Riensawa dan Ana Riensawa yang tinggal di Kampung Wagen (wilayah penebangan PT Wijaya Sentosa) juga turut merasakan dampak akibat hadirnya aktifitas perusahaan PT Wijaya Sentosa.
“Dulu kali atau sungai ditempat itu airnya jernih, sekarang ini perusahaan PT WS sudah bongkar jadi kalau hujan sedikit air kali menjadi kabur, kalau kita mancing di sana juga sudah jarang dapat ikan. Sebelum perusahan masuk itu kalau kitong balobe itu pasti kita dapat ikan.
Sekarang ini hujan sedikit sungai kabur dan tra bisa dapat ikan karena banyak jalan doser. Tra bisa pake air kali juga untuk masak hanya pake air hujan saja karena air sudah kabur.
Di kali itu hujan sedikit saja air kali macam warna tanah. Maka tong sekarang tra bisa pake air kali itu untuk masak,” terang Magdalena dengan menggunakan logat Papuanya menjelaskan.
Pantauan media ini bahwa dalam siaran pers tersebut juga dicantumkan nama lengkap nomor kontak dari Narahubung yaitu Sander Werfete dengan nomor kontaknya 085240302230 serta Roy Masyewi nomor kontaknya 08219859698 diharapkan kepada yang terkait dapat menghubungi nomor tersebut. (01-IP)