Views: 59
BINTUNI, InspirasiPapua.id– Kasus malaria di Kabupaten Teluk Bintuni tahun 2022 naik atau meningkat menjadi 141 kasus dan penyebab terbesar penularan malaria berasal dari populasi khusus yaitu perambah hutan yang kebanyakan didatangkan dari luar Bintuni.

“Alasan itulah kita memilih lebih fokus menanggulangi penularan malaria dari populasi khusus penyebab kasus malaria di daerah ini mengalami peningkatan.
Kasus malaria yang disebabkan dari perambah hutan hingga bulan Juni tahun 2022 yaitu sebanyak 141 kasus.
Sedangkan kasus malaria yang disebabkan dari perambah hutan ini pada Tahun 2021 terdapat 155 kasus bahkan tahun-tahun sebelumnya malah kasus malaria ini rendah dibanding tahun 2022 saat ini.
Dengan meningkatnya kasus malaria yang dibawa oleh orang dari luar Bintuni melalui populasi khusus tersebut menyebabkan kasus lokal orang tertular di Bintuni sendiri juga meningkat. Dibandingkan dengan tahun-tahun lalu kasus lokal sampai bulan Juni 2022 ada 61 kasus.
Tahun lalu malah dibawah 50 kasus itu menunjukkan adanya peningkatan kasus lokal,” ungkap Capacity Building Tim EDAT Kabupaten Teluk Bintuni Dokter Yuriko Limmade dari International SOS, Rabu (27/07/2022) kepada media ini ketika dikonfirmasi di Bintuni usai digelarnya pertemuan lintas sektor dalam rangka mengeliminasi malaria di Kabupaten Teluk Bintuni pada tahun 2023 mendatang.

Dokter Yuriko juga menjelaskan bahwa ikasus malaria di Bintuni penderitanya semuanya usia produktif yang lokasinya paling banyak di wilayah Top 5 yang meliputi Fafurwar, Tembuni, Kuri, Manimeri dan Bintuni.
“Lebih dari 50 (lima puluh) persen kasus malaria di Bintuni ditemukan pada kelompok kerja perambah hutan.
Kalau kita lihat lagi populasi khusus daerah Top 5 para perambah hutan 55 persen. Kalau distrik Kuri itu special ada anak-anak dan ibu-ibu karena distrik tersebut berbatasan dengan lokal lain.
Sedangkan dia area Top 4 perambah hutannya tinggi dimana kalau di Bintuni 10 (sepuluh) orang positif malaria maka kurang lebih ada 5 (lima) orang adalah perambah hutan dan 1 (satu) orang buruh proyek seperti pekerja infrastruktur jalan, rumah, jembatan dan lainnya.
Sedangkan di daerah Top 5 yaitu Fafurwar, Kuri, Tembuni, Bintuni dan Manimeri yaitu dari 10 (sepuluh) orang yang terinfeksi penyakit malaria maka 7 (tujuh) adalah perambah hutan makanya perambah hutan ini kita sebut populasi khusus.

Yaitu kelompok masyarakat yang mempunyai resiko lebih tinggi terkena malaria dibanding masyarakat umumnya. Makanya kita fokus melakukan pencegahan penularan dari populasi khusus ini terlebih dahulu dengan melakukan pemeriksaan sekaligus pengobatan.
Karena kita punya lokal-lokal ini banyak yang tinggal di sekitar lokasi dimana pupulasi khusus ini melakukan aktifitasnya dalam mengelola kayu. Dengan diketahuinya terjadinya peningkatan malaria maka itu bisa dilakukan pencegahan pada kelompok lokal.
Misalnya perusahaan kayu atau HPH yang ada di kampung Tirasai ini memiliki EDAT yaitu pencarian kasus dengan pengobatan standar yang dilakukan di Bintuni. Dimana EDAT sudah ada sehingga peningkatan malaria yang terjadi di tahun 2021 sampai bulan Juni 2022 dilakukan pemeriksaan rutin di sana sehingga setiap kasus malaria meningkat itu langsung turun kembali.
Berbeda dengan kasus malaria yang ada di Tembuni selama ini tidak ada kasus malaria yaitu nol terus dan itu disebabkan selama ini tidak ada pemeriksaan rutin di perusahan kayu yang ada di sana.
Kemudian tiba-tiba di bulan Desember 2021 karyawan perusahaan kayu itu pada turun mungkin mau libur dan lain-lain dan karyawan itu kebanyakan orang baru atau orang dari luar Bintuni. Sehingga pada bulan Januari 2022 baru penyakit malaria yang dibawa dari karyawan-karyawan itu meledak.
Oleh sebab itu untuk melakukan pencegahan penularan malaria sangat penting bagi orang-orang baru yang datang dari luar dan bekerja di perusahaan kayu ini diperiksa makanya melalui Puskesmas dilakukan pemeriksaan rutin setiap 3 (tiga) bulan sekali.
Dan yang kita harapkan kedepannya yaitu adanya pemeriksaan malaria rutin (PMR) kepada semua kelompok populasi khusus yang masuk di Bintuni. Dan ketika mereka baru masuk itu langsung dilakukan pemeriksaan malaria di populasi tersebut terlebih dulu.
Setelah itu setiap 3 (tiga) bulan sekali dilakukan pemeriksaan lagi kepada mereka agar tidak terjadi penularan di kelompok lokal. Dan kami sudah menyampaikan itu kepada pihak Dinas PUPR maupun Kantor Cabang Dinas Kehutan Bintuni kalau bisa harus ada regulasi penanganan malaria yang didukung oleh instansi lainnya untuk melakukan pemeriksaan malaria bagi setiap orang baru yang datang ke Bintuni. Dan selanjutnya setiap 3 (tiga) bulan dilakukan pemeriksaan.
Kami berharap dengan adanya pemeriksaan rutin kepada populasi khusus ini maka mereka dapat tercegah dari malaria atau tidak kena malaria.
