Views: 4702
“Penyelesaian Hutang Piutang Tanpa Surat Perjanjian Apakah Bisa Dituntut?”
Oleh : Yohanes Akwan, S.H*
KETIKA A dan B melakukan perjanjian lisan mengenai hutang piutang. A memberi pinjaman kepada B sejumlah uang dan B berjanji mengembalikannya dalam kurun waktu 6 bulan.
Setelah 6 bulan ternyata B tidak bisa mengembalikan uang tersebut kepada A. Apa yang bisa dilakukan di pengadilan tanpa adanya perjanjian tertulis?
Jawaban:
Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu Perjanjian, yang berbunyi:
“Untuk sahnya suatu perjanjan diperlukan empat syarat:1.Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.2.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.3.Suatu hal tertentu.4.Suatu sebab yang halal.
”Berdasarkan ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian tersebut, tidak ada satu pun syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengharuskan suatu perjanjian dibuat secara tertulis. Dengan kata lain, suatu Perjanjian yang dibuat secara lisan juga mengikat secara hukumnya bagi para pihak yang membuatnya.
Namun demikian, dalam proses pembuktian suatu perkara perdata, lazimnya alat bukti yang dipergunakan oleh pihak yang mendalilkan sesuatu (Vide Pasal 164 HIR) adalah alat bukti surat. Hal ini karena dalam suatu hubungan keperdataan, suatu surat/akta memang sengaja dibuat dengan maksud untuk memudahkan proses pembuktian, apabila di kemudian hari terdapat sengketa perdata antara pihak-pihak yang terkait.
Di dalam hukum acara perdata mengatur bagaimana cara menegakkan hukum perdata materiil, terdapat 5 (lima) alat bukti yang diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)dan Pasal 164 HIR Alat-alat bukti tersebut terdiri dari: a.Bukti tulisan, b.Bukti dengan saksi, c.Persangkaan, d.Pengakuan, dan e. Sumpah.
Jadi apabila seseorang ingin menuntut pihak lain oleh karena tidak membayar hutang berdasarkan adanya suatu perjanjian utang-piutang secara lisan ke Pengadilan, maka orang (Penggugat) tersebut dapat mengajukan alat bukti saksi yang dapat menerangkan adanya perjanjian utang-piutang secara lisan tersebut disertai alat bukti lain yang mendukung adanya perjanjian lisan tersebut, misalnya bukti transfer atau kuitansi bermeterai, dan lain sebagainya.
Dalam hal seorang Penggugat mengajukan saksi untuk menguatkan dalil mengenai adanya suatu perjanjian utang-piutang secara lisan, maka dalam Pasal 1905 KUH Perdata ditegaskan sebagai berikut:
“Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka Pengadilan tidak boleh dipercaya”.
Artinya bahwa satu orang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau perjanjian, karena terdapat batas minimal pembuktian dalam mengajukan alat bukti saksi, yaitu paling sedikit dua orang saksi, atau satu orang saksi disertai dengan alat bukti yang lain, misalnya adanya pengakuan dari pihak lawan yang membuat perjanjian tersebut atau terbukti bahwa pihak sudah ada sebagian utang yang dicicil kepada Penggugat tersebut.
Jadi kesimpulannya adalah apabila kalian melakukan perjanjian lisan, maka pastikan beberapa hal ini kalian lakukan:
Pastikan ada orang lain yang juga ikut menyaksikan hal tersebut. Orang lain ini artinya bukan keluarga kalian, tetapi akan lebih baik kalau itu adalah teman kalian atau tetangga kalian yang tidak ada hubungan darah dengan kalian. Karena apabila ada hubungan darah (suami, istri, orang tua, anak, saudara) maka hakim tidak akan membolehkan mereka menjadi saksi di pengadilan.
Atau; kalau pada saat itu kalian sendiri, maka pastikan kalian membuat surat perjanjian secara tertulis sehingga ada bukti tertulis yang dapat diajukan di pengadilan.
Pastikan kalian membuat kuitansi atau tanda terima atau bukti transfer dari uang yang kalian berikan kepada pihak tertentu. Jangan lupa menulis keterangan dalam bukti transfer atau kuitansi tersebut.
Mengapa hal-hal yang disebutkan ini penting? Karena meskipun secara aturan hukum atau Undang-Undang mengatur bahwa perjanjian lisan pun diakui dan dapat disidangkan, tetapi tidak sedikit kasus yang mengalami kekalahan hanya karena tidak memilik bukti tertulis yang kuat.
Misalnya tidak ada perjanjian tertulis dan tidak ada bukti transfer atau kuitansi, atau ada kuitansi tapi keterangannya tidak ditulis untuk apa uang tersebut diberikan sehingga bisa saja ada penyangkalan dari lawan.
Dan kemudian si lawan bisa saja mengatakan uang tersebut diberikan secara cuma-cuma) dan tidak memiliki saksi yang benar-benar mengetahui kejadian atau permasalahan tersebut.
Kalaupun ada, saksi tersebut adalah pasangan atau orangtua yang secara hukum mereka tidak bisa dijadikan saksi untuk didengar keterangannya. (*Penulis adalah Direktur YLBH Sisar Matiti dan Pengacara di Papua Barat).